Selasa, 23 November 2010

AGAMA

BUKTI ADANYA ALLAH
Adanya Allah swt adalah sesuatu yang bersifat aksiomatik (sesuatu yang kebenarannya telah diakui, tanpa perlu pembuktian yang bertele-tele). Namun, di sini akan dikemukakan dalil-dalil yang Menyatakan wujud (adanya) Allah swt, untuk memberikan pengertian secara rasional. Mengimani Wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal,
syara’, dan indera.
1. Dalil Fitrah
Manusia diciptakan dengan fitrah bertuhan, sehingga kadangkala disadari atau tidak, disertai belajar ataupun tidak naluri berketuhanannya itu akan bangkit. Firman Allah
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (al-A’raf:172)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?, (az-Zukhruf:87)
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan sesungguhnya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Al Bukhari)
Ayat dan hadis tersebut menjelaskan kondisi fitrah manusia yang bertuhan. Ketuhanan ini bisa difahami sebagai ketuhanan Islam, karena pengakuannya bahwa Allah swt adalah Tuhan. Selain itu adanya pernyataan kedua orang tua yang menjadikannya sebagai Nasrani, Yahudi atau Majusi, tanpa menunjukkan kata menjadikan Islam terkandung maksud bahwa menjadi Islam adalah tuntutan fitrah. Dari sini bisa disimpulkan bahwa secara fitrah, tidak ada manusia yang menolak adanya Allah sebagai Tuhan yang hakiki, hanya kadang-kadang faktor luar bisa membelokkan dari Tuhan yang hakiki menjadi tuhan-tuhan lain yang menyimpang.


2. Dalil Akal
Akal yang digunakan untuk merenungkan keadaan diri manusia, alam semesta dia dapat membuktikan adanya Tuhan. Di antara langkah yang bisa ditempuh untuk membuktikan adanya Tuhan melalui akal adalah dengan beberapa teori, antara lain;
a. Teori Sebab.
Segala sesuatu pasti ada sebab yang melatarbelakanginya. Adanya sesuatu pasti ada yang mengadakan, dan adanya perubahan pasti ada yang mengubahnya. Mustahil sesuatu ada dengan sendirinya. Mustahil pula sesuatu ada dari ketiadaan. Pemikiran tentang sebab ini akan berakhir dengan teori sebab yang utama (causa prima), dia adalah Tuhan.
b. Teori Keteraturan.
Alam semesta dengan seluruh isinya, termasuk matahari, bumi, bulan dan bintang-bintang bergerak dengan sangat teratur. Keteraturan ini mustahil berjalan dengan sendirinya, tanpa ada yang mengatur. Siapakah yang mempu mengatur alam semesta ini selain dari Tuhan?
c. Teori Kemungkinan (Problabyitas)
Adakah kemungkinan sebuah komputer ditinggalkan oleh pemiliknya dalam keadaan menyala. Tiba-tiba datang dua ekor tikus bermain-main di atas tuts keyboard, dan setelah beberapa saat di monitor muncul bait-bait puisi yang indah dan penuh makna?
Dalam pelajaran matematika, bila sebuah dadu dilempar kemungkinan muncul angka 6 adalah 1/6. Dan bila dua dadu dilempar kemungkinan munculnya angka 5 dan 5 adalah 1/36. Bila ada satu set huruf dari a sampai z diambil secara acak, kemungkinan muncul huruf a adalah 1/26. Bila ada lima set huruf diambil secara acak, kemungkinan terbentuknya sebuah kata T-U-H-A-N adalah 1/265 (satu per duapuluh enam pangkat lima) =1/11881376. Andaikata puisi di layar komputer itu terdiri dari 100 huruf saja, maka kemungkinannya adalah 1/26100. Dengan angka kemungkinan sedemikian orang akan menyatakan tidak mungkin, lalu bagaimanakah alam raya yang terdiri dari sekian jenis atom, sekian banyak unsur, sekian banyak benda, berapa kemungkinan dunia ini terjadi secara kebetulan? Kemungkinannya adalah 1/~ (satu per tak terhingga), atau dengan kata lain tidak mungkin. Jika alam ini tidak mungkin terjadi dengan kebetulan maka tentunya alam ini ada yang menciptakannya, yaitu Allah.

3. Dalil Naqli
Meskipun secara fitrah dan akal manusia telah mampu menangkap adanya Tuhan, namun manusia tetap membutuhkan informasi dari Allah swt untuk mengenal dzat-Nya. Sebab akal dan fitrah tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan yang sebenarnya.
Allah menjelaskan tentang jati diri-Nya di dalam Al-Qur’an;
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(al-A’raf:54) 
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt adalah pencipta semesta alam dan seisinya, dan Dia pulalah yang mengaturnya.



4. Dalil Inderawi
Bukti inderawi tentang wujud Allah swt dapat dijelaskan melalui dua fenomena:
a. Fenomena Pengabulan do’a
Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta memohon pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah Swt. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (Al Anbiya: 76)
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Robbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu •” (Al Anfaal: 9)
Anas bin Malik Ra berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata’ “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengatasi kesulitan kami.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tanganya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada Jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta bendapun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Robbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan jangan Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat kecuali menjadi terang (tanpa hujan).” (HR. Al Bukhari)

b. Fenomena Mukjizat
Kadang-kadang para nabi diutus dengan disertai tanda-tanda adanya Allah secara inderawi yang disebut mukjizat. Mukjizat ini dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang Mengurus para nabi tersebut, yaitu Allah swt. Karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia, Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul. Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa as. Agar memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman,
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.: Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (Asy Syu’araa: 63)
Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa as. ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah. Allah swt berfirman:
“…dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah” (Ali Imran: 49)
“dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-Ku.” (Al Maidah 110)
Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-Nya.

QADHA’ DAN QADAR

Apa arti dari qadha dan qadar?
Istilah Qadha' bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila dimutlakkan, maka  memuat makna Qadha', Akan tetapi bila dikatakan "Qadha-Qadar", maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan punya makna khusus bila disatukan.
Sebagai contoh dapat dikatakan.
"Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila keduanya dipisah maka bersatu"  Maka kata Qadha' dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata Qadha' dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qadha') maka memuat makna Qadha'. Akan tetapi ketika dikumpulkan, kata Qadha' bermakna: sesuatu yang ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya.
Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah di­ten­tu­kan Allah sejak zaman azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih dahulu kemudian disusul dengan Qadha'. Kemudian yang dimaksud dengan iman kepada Qadar adalah  kita mempercayai (sepenuhnya) bahwa Allah telah me­netapkan segala sesuatu,
Qodho-Qodar Vs Sebab Akibat
Ketahuilah bahwa iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan pel­ak­sanaan se­bab, bahkan melaksanakan berbagai sebab merupakan perintah Syari'ah. Hal itu dapat tercapai karena Qadar, karena bebagai sebab akan melahir­kan musabab (akibat). Oleh karena itu, Amirul Mu'minin, Umar bin Khaththab, ketika pergi menuju Syam, di tengah perjalan dia mengetahui bahwa telah meny­ebar wabah penyakit di sana. Kemu­dian para sahabat bermusyawarah; apa­kah per­­jalanan ini diteruskan atau kembali pulang ke Madinah? Maka terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka dan kemudian beliau me­mutus­­kan untuk kembali ke Madinah. Ketika beliau (Umar) sudah mantap pada pendapat tersebut, maka datanglah Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarah sembari berkata: Hai Amirul Mu'minin, mengapa anda kembali ke Madinah dan lari dari Qadar Allah ?"
Umar menjawab: "Kami lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah yang lain". Kemu­dian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf (dia sebelumnya tidak ada di situ untuk me­me­nui kebutuhannya), kemudian dia men­cerita­kan bahwa Nabi pernah bersabda tentang wabah penyakit.
Rasulullah bersabda, ”Bila kamu sekalian mendengar terjadinya wabah penyakit di bumi tertentu, maka janganlah kamu mendatanginya.”
Kesimpulan perkataan Umar "lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah" itu meru­pakan dalil bahwa melaksanakan sebab juga termasuk Qadar Allah. Kita tahu bahwa apabila seseorang mengatakan, "saya beriman kepada Qadar Allah dan Allah akan memberiku seorang anak dengan tanpa istri", maka orang tersebut dapat dika­takan gila. Begitu juga bila dia mengatakan "saya beriman kepada Qadar Allah dan saya tidak akan bekerja untuk mencari rejeki", maka dia adalah dungu.

Karena iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan sebab-sebab syar'iyah atau ikhtiar/usaha yang benar. Adapun sebab-sebab yang berupa prasangka yang dianggap pelakunya sebagai sebab padahal bukan, maka hal itu tidak perlu diperhatikan.
Beriman Kepada Qodho dan Qodar membolehkan maksiat? Ada kesulitan dalam mengimani Qadar (padahal sebenarnya tidak sulit), yaitu per­tan­yaan seseorang: "Apabila perbuatanku dari Qadar/Ketentuan Allah, maka bagai­mana aku harus menanggung akibatnya sementara semua itu dari Qadar Allah ?"
 Jawabannya.

 Hendaknya dikatakan kepadanya, “kamu tidak bisa beralasan melakukan maksiat dengan Qadar Allah, Karena Allah tidak memaksamu untuk melakukannya dan ketika kamu dihadapkan kepadanya (maksiat itu) kamu tidak tahu bahwa hal itu ditakdirkan untukmu. Karena manusia tidak mengetahui apa yang ditakdirkan kepadanya kecuali setelah terjadi. Karena itu, kenapa kamu tidak memperkirakan sebelum berbuat bahwa Allah telah mentakdirkan ketaatan kepadamu, sehingga kamu melaksanakannya?”
Begitu juga dalam hal duniawi, pasti kita akan melakukan sesuatu yang  dianggap ada kebaikannya dan menghindari yang dianggap berbahaya. Maka mengapa kita tidak bersikap demikian dalam urusan akhirat? Kami tidak yakin jika ada seseorang yang sengaja menginjak paku dan kaca lalu dia berkata: "Ini telah ditakdirkan untukku, bahkan tentunya dia akan menempuh jalan yang paling aman dan mudah. Tidak ada perbedaan antara hal ini dengan sebuah perkataan bahwa Surga mempunyai jalan dan Neraka juga mempunyai jalan. Maka apabila kita menempuh jalan menuju Neraka, maka kita bagaikan orang yang menempuh jalan yang mengkhawatirkan dan mengerikan. Maka mengapa kita merelakan dirimu menempuh jalan menuju Neraka dan meninggalkan jalan Surga yang indah? Kalau saja manusia boleh beralasan dengan Qadar tatkala melakukan ma'siyat, maka tentunya tidak ada gunanya diutusnya para rasul, surga-neraka, pahala-dosa dll.

Manfaat/Tujuan Beriman Kepada Qodho dan Qodar
Ketahuilah bahwa iman kepada Qadar memiliki buah yang agung bagi perjalanan manusia dan hatinya. Karena apabila kita beriman bahwa segala sesuatu terjadi karena Qadha' dan Qadar Allah, maka ketika dalam kelapangan kita akan bersyukur kepada Allah dan tidak terlalu membanggakan diri bahwa itu hanya usahamu sendiri. Tetapi sebaliknya meyakini bahwa ini hanya sebab dan meyakini bahwa karunia tetap di tangan Allah, maka kita akan bertambah syukur dan makin banyak beribadah.

Dan bila sedang dilanda kesempitan dan musibah, kita akan yakin bahwa ini semua dari Allah untuk menguji kesabaran dan keimanan kita. Serta menyakini bahwa ada Yang lebih Kuasa dari usaha manusia. Dan kita bisa terus mencoba berusaha agar keadaan yang sempit itu menjadi lapang dan luas di kemudian hari. Kita juga bisa tetap percaya kepada Allah, menerima dan tidak terlalu menyesal karena musibah yang datang serta tidak diliputi kegundahan yang berat. Bukankah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Seorang mu'min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mu'min yang lemah, dalam segala kebaikan bersemangatlah (untuk mencapai) apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, jangan merasa lemah, apabila kamu tertimpa suatu (musibah) maka janganlah berkata ; Kalau saja aku melakukan begini maka hasilnya pasti begini, karena kata "kalau" akan membukakan perbuatan syetan".

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger